Saya selalu mengatakan bahwa menikah adalah hal yang sangat kodrati.
Dalam bahasa saya, menikah tidak dapat dimatematiskan.
Jika suatu saat ada orang yang mengatakan, secara materi saya
belum siap, saya akan selalu mengejar dengan pertanyaan yang lain,
berapa standar kelayakan materi seseorang untuk menikah?
Tak ada. Sebenarnya tak ada. Jika kesiapan menikah diukur dengan
materi, maka betapa ruginya orang-orang yang papa. Begitu juga dengan
kesiapan-kesiapan lain yang bisa diteorikan seperti kesiapan emosi,
intelektual, wawasan dan sebagainya. Selalu tak bisa dimatematiskan.
Itulah sebabnya saya mengatakan bahwa menikah adalah sesuatu yang
sangat kodrati.
Bukan dalam arti saya menyalahkan teori-teori kesiapan menikah yang
telah dibahas dan dirumuskan oleh para ustadz. Tentu saja semua itu
perlu sebagai wacana memasuki sebuah dunia ajaib bernama keluarga
itu.
Sebagai contoh saja, banyak pemuda berpenghasilan tinggi, namun belum
juga merasa siap untuk menikah. Belum cukup, lah… itu alasan yang
paling mudah dijumpai. Dengan gaji sekarang saja saya hanya bisa
hidup pas-pasan. Bagaimana kalau ada anak dan istri? Oya, saya juga
belum punya rumah….
O-o… Saudaraku, kalau kau menunggu gajimu cukup, maka kau tak akan
pernah menikah. Bisa jadi besok Allah menghendaki gajimu naik tiga
kali lipat. Tapi percayalah, pada saat yang bersamaan, tingkat
kebutuhanmu juga akan naik… bahkan lebih tiga kali lipat. Saat
seseorang tak memiliki banyak uang, ia tak berpikir pakaian berharga
tertentu, televisi, laptop… atau mungkin hp merk mutakhir.
Saat tak memiliki banyak uang, makan mungkin cukup dengan menu
sederhana yang mudah ditemui di warung-warung pinggir jalan. Tapi
bisakah demikian saat Anda memiliki uang? Tidak akan. Selalu saja ada
keinginan yang bertambah, lajunya lebih kencang dari pertambahan
kemampuan materi. Artinya, manusia tidak akan ada yang tercukupi
materinya.
Menikah adalah sebuah elemen kodrati sebagaimana rezeki dan juga
ajal. Tak akan salah dan terlambat sampai kepada setiap orang. Tak
akan bisa dimajukan ataupun ditahan. Selalu tepat sesuai dengan apa
yang telah tersurat pada awal penciptaan anak Adam.
Menikah adalah salah satu cara membuka pintu rezeki, itu yang pernah
saya baca di sebuah buku. Ada pula sabda Rasulullah, Menikahlah maka
kau akan menjadi kaya.Mungkin secara logika akan sangat sulit
dibuktikan statemen-statemen tersebut. Taruhlah, pertanyaan paling
rewel dari makhluk bernama manusia, Bagaimana mungkin saya akan
menjadi kaya sedangkan saya harus menanggung biaya hidup istri dan
anak? Dalam beberapa hal yang berkaitan dengan interaksi sosial juga
tidak bisa lagi saya sikapi dengan simpel. Contoh saja, kalau ada
tetangga atau teman yang hajatan, menikah dan sebagainya, saya tentu
saja tidak bisa lagi menutup mata dan menyikapinya dengan
konsep-konsep idealis. Saya harus kompromi dengan tradisi; hadir,
nyumbang… yang ini berarti menambah besar pos pengeluaran. Semua itu
tak perlu menjadi beban saya pada saat saya belum berkeluarga.
Saat saya dihadapkan pertanyaan menikah pertama kali dalam hidup
saya, saya sempat maju mundur dan gamang dengan wacana-wacana semacam
ini. Lama sekali saya menemukan keyakinan -belum jawaban, apalagi
bukti- bahwa seorang saya hanyalah menjadi perantara Allah memberi
rezeki kepada makhluk-Nya yang ditakdirkan menjadi istri atau
anak-anak saya.
Harusnya memang demikian. Itulah keajaiban yang kesekian dari sebuah
pernikahan. Saya sendiri menikah pada tahun 1999, saat umur saya dua
puluh tahun. Saat itu saya bekerja sebagai buruh di sebuah perusahaan
bakery tradisional. Tentu saja, saya sudah menulis saat itu kendati
interval pemuatan di majalah sangat longgar. Kadang-kadang sebulan
muncul satu tulisan, itu pun kadang dua bulan baru honornya dikirim.
Dengarkan…! Dengarkan baik-baik bagian cerita saya ini.
Sebulan setelah saya menikah, tiga cerpen saya sekaligus dimuat di
tiga media yang berbeda. Beberapa bulan berikutnya hampir selalu
demikian, cerpen-cerpen saya semakin sering menghiasi media massa.
Interval pemuatan cerpen tersebut semakin merapat. Saat anak saya
lahir, pada pekan yang sama, ada pemberitahuan dari sebuah majalah
remaja bahwa mulai bulan tersebut, naskah fiksi saya dimuat secara
berseri. Padahal, media tersebut terbit dua kali dalam sebulan. Ini
berarti, dalam sebulan sudah jelas ada dua cerpen yang terbit dan itu
berarti dua kali saya menerima honor. Ini baru serialnya. Belum
dengan cerpen-cerpen yang juga secara rutin saya kirim di luar
serial.
Tunggu… semua itu belum berhenti. Saat anak saya semakin besar dan
semakin banyak pernak-pernik yang harus saya penuhi untuknya,
lagi-lagi ada keajaiban itu. Satu per satu buku saya diterbitkan.
Royalti pun mulai saya terima dalam jumlah yang… hoh-hah…!
Subhanallah…!
Entah, keajaiban apa lagi yang akan saya temui kemudian. Yang jelas,
saat ini saya harus tetap berusaha meyakinkan diri saya sendiri bahwa
saya hanyalah perantara rezeki bagi anak dan istri saya… juga
mungkin orang lain. Dengan begitu, mudah-mudahan saya bisa melepaskan
hak-hak tersebut yang melekat pada uang gaji ataupun royalti yang
saya terima.
Ya Allah… mampukan saya ?
0 komentar:
Posting Komentar