Hari pernikahanku. Hari yang paling bersejarah dalam hidup.
Seharusnya saat itu aku menjadi makhluk yang paling berbahagia. Tapi
yang aku rasakan justru rasa haru biru.
Betapa tidak. Di hari bersejarah ini tak ada satupun sanak saudara
yang menemaniku ke tempat mempelai wanita. Apalagi ibu. Beliau yang
paling keras menentang perkawinanku.
Masih kuingat betul perkataan ibu tempo hari, “Jadi juga kau nikah
sama ‘buntelan karung hitam’ itu ….?!?” Duh……, hatiku sempat kebat-kebit
mendengar ucapan itu. Masa calon istriku disebut ‘buntelan karung
hitam’.
“Kamu sudah kena pelet barangkali Yanto. Masa suka sih sama gadis
hitam, gendut dengan wajah yang sama sekali tak menarik dan cacat
kakinya. Lebih tua beberapa tahun lagi dibanding kamu !!” sambung ibu
lagi.
“Cukup Bu! Cukup! Tak usah ibu menghina sekasar itu. Dia kan ciptaan
Allah. Bagaimana jika pencipta-Nya marah sama ibu…?” Kali ini aku
terpaksa menimpali ucapan ibu dengan sedikit emosi. Rupanya ibu amat
tersinggung mendengar ucapanku.
“Oh…. rupanya kau lebih memillih perempuan itu ketimbang keluargamu.
baiklah Yanto. Silahkan kau menikah tapi jangan harap kau akan dapatkan
seorang dari kami ada di tempatmu saat itu. Dan jangan kau bawa
perempuan itu ke rumah ini !!”
DEGG !!!!
****
“Yanto…. jangan bengong terus. Sebentar lagi penghulu tiba,” teguran
Ismail membuyarkan lamunanku. Segera kuucapkan istighfar dalam hati.
“Alhamdulillah penghulu sudah tiba. Bersiaplah …akhi,” sekali lagi Ismail memberi semangat padaku.
“Aku terima nikahnya, kawinnya Shalihah binti Mahmud almarhum dengan mas kawin seperangkat alat sholat tunai !”
Alhamdulillah lancar juga aku mengucapkan aqad nikah.
“Ya Allah hari ini telah Engkau izinkan aku untuk meraih setengah dien. Mudahkanlah aku untuk meraih sebagian yang lain.”
****
Dikamar yang amat sederhana. Di atas dipan kayu ini aku tertegun
lama. Memandangi istriku yang tengah tertunduk larut dalam dan diam.
Setelah sekian lama kami saling diam, akhirnya dengan membaca basmalah
dalam hati kuberanikan diri untuk menyapanya.
“Assalamu’alaikum …. permintaan hafalan Qur’annya mau di cek kapan
De’…?” tanyaku sambil memandangi wajahnya yang sejak tadi disembunyikan
dalam tunduknya. Sebelum menikah, istriku memang pernah meminta malam
pertama hingga ke sepuluh agar aku membacakan hafalan Qur’an tiap malam
satu juz. Dan permintaan itu telah aku setujui.
“Nanti saja dalam qiyamullail,” jawab istriku, masih dalam tunduknya.
Wajahnya yang berbalut kerudung putih, ia sembunyikan dalam-dalam. Saat
kuangkat dagunya, ia seperti ingin menolak. Namun ketika aku beri
isyarat bahwa aku suaminya dan berhak untuk melakukan itu , ia menyerah.
Kini aku tertegun lama. Benar kata ibu ..bahwa wajah istriku ‘tidak
menarik’. Sekelebat pikiran itu muncul ….dan segera aku mengusirnya.
Matanya berkaca-kaca menatap lekat pada bola mataku.
“Bang, sudah saya katakan sejak awal ta’aruf, bahwa fisik saya
seperti ini. Kalau Abang kecewa, saya siap dan ikhlas. Namun bila Abang
tidak menyesal beristrikan saya, mudah-mudahan Allah memberikan
keberkahan yang banyak untuk Abang. Seperti keberkahan yang Allah
limpahkan kepada Ayahnya Imam malik yang ikhlas menerima sesuatu yang
tidak ia sukai pada istrinya. Saya ingin mengingatkan Abang akan firman
Allah yang dibacakan ibunya Imam Malik pada suaminya pada malam pertama
pernikahan mereka,” … Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) dengat
patut (ahsan). Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah
menjanjikan padanya kebaikan yang banyak.”
(QS An-Nisa:19)
Mendengar tutur istriku, kupandangi wajahnya yang penuh dengan air
mata itu lekat-lekat. Aku teringat kisah suami yang rela menikahi
seorang wanita yang memiliki cacat itu. Dari rahim wanita itulah lahir
Imam Malik, ulama besar ummat Islam yang namanya abadi dalam sejarah.
“Ya Rabbi aku menikahinya karena Mu. Maka turunkanlah rasa cinta dan
kasih sayang milikMu pada hatiku untuknya. Agar aku dapat mencintai dan
menyayanginya dengan segenap hati yang ikhlas.”
Pelan kudekati istriku. Lalu dengan bergetar, kurengkuh tubuhya dalam
dekapku. Sementara, istriku menangis tergugu dalam wajah yang masih
menyisakan segumpal ragu.
“Jangan memaksakan diri untuk ikhlas menerima saya, Bang. Sungguh…
saya siap menerima keputusan apapun yang terburuk,” ucapnya lagi.
“Tidak…De’. Sungguh sejak awal niat Abang menikahimu karena Allah.
Sudah teramat bulat niat itu. Hingga Abang tidak menghiraukan ketika
seluruh keluarga memboikot untuk tak datang tadi pagi,” paparku sambil
menggenggam erat tangannya.
****
Malam telah naik ke puncaknya pelan-pelan. Dalam lengangnya bait-bait do’a kubentangkan pada Nya.
“Robbi, tak dapat kupungkiri bahwa kecantikan wanita dapat
mendatangkan cinta buat laki-laki. Namun telah kutepis memilih istri
karena rupa yang cantik karena aku ingin mendapatkan cinta-Mu. Robbi
saksikanlah malam ini akan kubuktikan bahwa cinta sejatiku hanya akan
kupasrahkan pada-Mu. Karena itu, pertemukanlah aku dengan-Mu dalam
Jannah-Mu !”
Aku beringsut menuju pembaringan yang amat sederhana itu. Lalu
kutatap raut wajah istriku denan segenap hati yang ikhlas. Ah, ..
sekarang aku benar-benar mencintainya. Kenapa tidak? Bukankah ia wanita
sholihah sejati. Ia senantiasa menegakkan malam-malamnya dengan munajat
panjang pada-Nya. Ia senantiasa menjaga hafalan KitabNya. Dan senantiasa
melaksanakan shoum sunnah Rasul Nya.
“…dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah. Mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
pada Allah …”
(QS. al-Baqarah:165)
0 komentar:
Posting Komentar