Bangsa
Indonesia selalu di identikkan dengan budaya “Orang Timur”. Budaya timur
tersebut semakna dengan sebuah anggapan tentang keterjunjungan adab, sopan
santun, saling menghormati dan saling menghargai yang begitu tingginya.
Anggapan bahwa aliran “Budaya Ketimuran” yang lekat pada bangsa indonesia ini,
pada akhirnya menjadikan mata dunia tertuju pada bangsa indonesia, bahwasanya
bangsa ini merupakan Negara ramah nan-seksi untuk menjadi destinasi. Entah
destinasi wisata alam, ataupun wisata yang “lain-lain”
Konsep kebudayaan bangsa
indonesia begitu anggunnya, dimana moral, adab, dan prinsip kekeluargaan sangat
di junjung tinggi. Menurut Moes (2009) konsep dari kebudayaan bangsa indonesia
mengacu pada nilai ketaqwaan, kebenaran, ketertiban, iman, setia kawan, rukun,
disiplin, harga diri, kompetitif, ramah tamah, tenggang rasa, kreatif, dan
kebersamaan. Yang mana nilai tersebut dianggap sebagai puncak dari kebudayaan
di seluruh teritori daerah bangsa indonesia.
Sebagaimana
sifat dan juga ciri dari kebudayaan menurut Melalota (dalam moes, 2009)
mengkonsepkan sebuah kebudayaan yang di miliki oleh bangsa indonesia, diikat
oleh sebuah tali persatuan dan kesatuan, dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika.
Konsep
yang telah di gambarkan oleh para ahli tersebut memanglah konsep yang
seharusnya menjadi pedoman dan tuntunan saat ini sebagai bangsa timur. Namun
apa hendak dikata, pedoman dan tuntunan yang dahulu dijunjung tinggi tersebut
saat ini mulai memudar hingga tak lagi menjadi pakem melekat bagi para
masyarakatnya. Saat ini hal tersebut layaknya menjadi harapan semata, yang mana
tak semua sesuai dengan tempatnya.
Kita
dapat melihat sebuah fenomena dimana kesopan santunan mengkhawatirkan
evolusinya di kalangan generasi pemuda masa kini. Tak usah berbicara pemudanya,
tengkok sajalah bagaimana pemberitaan dimana seorang anak yang belum akhil
baligh pun berani menunjukkan jiwa ketidak sopanannya. Videonya pun telah
menjadi viral di media sosial saat ia dengan beraninya melawan sang guru di
ruang guru. Bahkan dengan bangganya sang murid sd ini menantang gurunya untuk
melawan badannya. Tak cukup sampai disitu sang guru pun akhirnya dengan gemas
sepontan melecehkan anak bahwa “badan kecil gini kok berani”, “wes aku ga gelem
ngurusi bocah iki, ben sekolah neng hutan”. Jadilah kekurang ajaran di balas
dengan pelecehan.
Belum
lagi berbagai berita yang sangat mengkhawatirkan dimana guru yang menegur murid
lantas di keroyok secara beramai-ramai oleh murid dan orang tuanya. Itu semua
semakin menasbihkan bahwa ketidaksopanan yang ada di negeri ini telah
menjangkit di berbagai lini.
Ucapan,
sapaan, hingga memanggil yang lebih tua daripadanya pun seakan enggan untuk di
lakukan. Apakah kian beratnya melakukan penghormatan sederhana? Bukan bermaksud
untuk gila hormat namun berat kah kita saat ini untuk hanya sekedar memanggil
“mas”, “kak”, “bang”, “mba” dan lain sebagainya kepada yang lebih dewasa
dibandingkan Anda semua yang kerap melalikannya. Jangan mentang-mentang satu
letting tingkatan atau di atas satu tingkatan saja lantas anda yang lebih muda
tak sedikit pun menaruh rasa hormat pada mereka yang usianya jauh di atas
kalian.
Urusan
remeh temeh memanggil ini, memang seremeh kerupuk yang melempem di udara
terbuka, namun dari persoalan sederhana ini kita dapat menakar, bagaimana
langkanya sopan santun yang tertanam dalam setiap generasi masa kini. Jika di
budidayakan ala ikan lele dumbo perilaku seperti ini di sekitar kita, maka
jangan heran jika Anda menjadi orang tua nantinya, lantas anak Anda memanggil
langsung nama, seperti BRO, Sist, Gan, dan lain sebagainya dengan logat pongah
nan ketus.
Pudarnya sopan santun
Sadarlah,
bahwa pudarnya sopan santun di sekitar kita merupakan problem yang amat serius
untuk di sikapi, sama seriusnya dengan menyikapi merajalelanya kasus korupsi
yang menggerogoti negeri ini. Sopan santun yang tak di pelihara dengan baik
hanya akan berdampak viral potensi kejahatan di segala lini. Bahkan kasus
korupsi, pungli, dan grativikasi yang mengakar di negeri ini adalah imbas dari
memudarnya sopan santun dalam benak dan sanubari para koloni petinggi negeri.
Membangun
indonesia tak cukup hanya dengan membangun infratruktur dan menebar kartu sehat
semata. Hal tersebut mungkin bermanfaat, namun adakalanya membangun bangsa ini
diperlukan dengan cara membersamainya dengan membangun adab. Karena sebuah
peradaban fondasi utama adalah adab para masyarakatnya.
Menjadi
kritis akan semakin dhasyat kontribusinya bagi bangsa, manakala mampu
menyeimbangkan kekritisan yang dimiliki dengan trah keberadaban dalam
kesantunan. Sebagai kaum muda, penulis menghimbau kepada para rekan yang
memperingati sumpah pemuda tak semata stagnan pada teatrikal aksi momentum saja.
Namun besar harapanya untuk mampu mengkonstruksi diri dalam sebuah kekritisan
yang dimemiliki, dengan adab dan sopan santun yang dapat di terima oleh semua
umur dan kalangan.
Jangan
adalagi dikotomi berlebel perubahan maupun himbauan dengan jalan penghinaan.
Cukuplah tragedi munculnya pemimpin yang menghina agama di pulau seribu dengan
penggunaan ayat yang bukan hak dan kapasitasnya sampai di situ saja. Cukuplah
benih-benih kekurang sopanan dalam bertindak gusur menggusur dengan jalan
kekerasan dan kesewenang-wenangan terjadi di negeri ini hanya karena nafsu
pengembang yang menjadi bekingan.
Menyadari
bahwa dari dulu hingga sekarang pemuda adalah pilar kebangkitan, dalam setiap
kebangkita pemdua merupakan rahasia kekuatannya, dalam setiap fikrah pemikiran
pemuda adalah pemegang panji-panjinya. Diibaratkan sebuah air, para pemuda yang
bergerak akan selalu jernih menjernihkan daripada mereka yang diam.
Dari diri sendiri,
keluarga, tetangga, masyarakat, hingga Negara. Membangun peradaban tak cukup
hanya dengan peringatan seremonial acara peringatan kemerdekaan, hari
pendidikan, hingga sumpah pemuda. Namun membangun peradaban dapat dimulai saat
ini, waktu ini, detik ini dengan jalan membudayakan sopan santun.
0 komentar:
Posting Komentar