Apakah
aku jenuh dengan kesendirian?
Untuk
saat ini aku sendiri pun tak tahu apa yang aku inginkan. Tentang rasa, tentang
mereka, tentang cinta…semua seperti bahasa sansekerta yang tak mampu aku eja.
Ini bukan sekedar tentang aku yang pernah terluka, atau tentang cerita pahit
yang tak pernah bisa terlupa.
Aku
hanya tak lagi mudah untuk percaya. Karena setia dan rasa yang pernah aku
bangun dengan tulus di balas dengan dusta dan bahagia yang aku kira nyata
ternyata hanya fatamorgana. Sendiri terdengar lebih baik daripada terjebak lagi
dalam permainan
Apakah
aku siap untuk kembali jatuh cinta?Untuk saat ini aku sudah tak mampu lagi
mendefinisikan apa itu cinta. Rasa, cinta, bahagia, setia… semuanya seperti
ilalang yang mengering dan lalu terbakar dusta.
Bukan
karena aku masih mencintai dia dari masa lalu atau pun terjebak dalam drama
nostalgia. Aku hanya tahu bahwa hati ini jauh lebih berharga dari sebuah rasa
dan aku takut kembali menyerahkan hatiku pada orang yang salah.
Cinta
memang indah, tapi tidak lebih berharga dari pada bahagia.
Entahlah…
terkadang hidup ini bukan tentang benar atau salah, bukan melulu tentang
menjadi apa yang mereka pikir semestinya. Hidup ini adalah tentang bagaimana
kita menentukan pilihan yang membawa kita pada sukacita. Dan bila pilihannya
antara cinta dan bahagia, pada akhirnya aku memilih untuk bahagia. Ya, bahagia.
Memang
benar berdua lebih baik daripada sendiri, tapi bukankah berdua itu butuh
percaya? Dan bila saat ini rasa percaya ku sudah tergantung tinggi diujung
bianglala, rasanya berdua hanya akan menjadi seperti retorika.
Berdua
bukanlah sekedar “kau dan aku bersama”, namun ini tentang bagaimana membangun
“kita” yang mampu tertawa bersama sekalipun begitu banyak masalah, yang saling
setia tanpa ada dusta, yang mampu menyangkal diri dan saling menerima, yang
tetap ada meski penuh airmata, dan itu tidaklah mudah.
Sendiri
ini mungkin akan jadi akhir cerita, mungkin juga tidak untuk selamanya. Ah,
rasanya akan lelah bila menerka-nerka dan terlalu digdaya bila menentukan
sendiri jalan ceritanya, sedangkan aku hanya lah pelakon, dan sutradaranya
adalah yang Maha kuasa.
Mari
mainkan saja perannya, dan akhir kisah biarlah menjadi rahasia…
Kata
mereka, saat usia beranjak menua sudah seharusnya menikah. Tapi, bukankah
keharusan tidak akan pernah menjadi pondasi yang kokoh dalam pernikahan?!
Pernikahan
itu ibarat mendirikan sebuah bangunan, dan dasarnya adalah cinta. Terlalu naïf
rasanya bicara menikah, bila apa itu cinta dan bagaimana memaknai cinta saja
aku sudah lupa atau berpura-pura lupa.
Ah,
sudahlah, terserah apa kata mereka, aku memilih bahagia.. Bukankah rasa tidak
dapat dipaksa, dan bukankah bahagia juga tidak akan nyata bila hati hanya
setengah dan berpura-pura. Pernikahan ibarat perahu untuk menuju ke pulau
bahagia, tapi bukan satu-satunya cara menuju kesana. Saat ini aku sudah memilih
cara untuk sampai kesana, pulau bahagia karena semua orang berhak bahagia,
namun dengan cara yang berbeda.
Dan
pada akhirnya, waktulah yang akan berbicara. Mungkin, waktu akan melukis cinta
menjadi sebuah diorama, dan aku mampu menemukan makna, atau mungkin juga
selamanya akan menjadi ada dan tiada.
Sudah
jalani saja, sekali lagi rasa tidak akan bisa dipaksa. Rasa adalah suara yang
berasal dari jiwa, dan bukankah jiwa adalah lentera yang memberi cahaya.
Percayalah, kata hati pasti akan menuntun kita.
Sendiri
atau berdua, dengan atau tanpa cinta, pada akhirnya bahagia itu adalah
bagaimana kita menerima, mensyukuri dan memaknai cerita yang sudah ditulis sang
maha kuasa. Sama seperti ketika kita sedang terjebak dalam hujan deras,
pilihannya adalah mengutuki hujan dalam diam sampai tubuh mengigil dan beku
atau menikmati suasana dan menari bersama setiap derainya.
0 komentar:
Posting Komentar