Tatkala usia terus merangkak naik sementara calon suami tak kunjung
datang, segera keresahan mulai melanda. Pada masa-masa yang terbilang
cukup rawan ini seringkali tanpa disadari, ada perilaku-perilaku yang
mestinya tak layak dilakukan oleh seorang muslimah yang ‘kadung’
dijadikan teladan dilingkungannya. Ada muslimah yang menjadi sangat
sensitif terhadap acara-acara pernikahan ataupun wacana-wacana seputar
jodoh dan pernikahan. Atau bersikap seolah tak ingin segera menikah
dengan berbagai alasan seperti karir, studi maupun ingin terlebih dulu
membahagiakan orang tua. Padahal, hal itu cuma sebagai pelampiasan
perasaan lelah menanti jodoh.
Sebaliknya, ada juga muslimah yang cenderung bersikap over acting.
terlebih bila sedang menghadiri acara-acara yang juga dihadiri lawan
jenisnya. Biasanya, ia akan melakukan berbagai hal agar “terlihat”,
berkomentar hal-hal yang tidak perlu yang gunanya cuma untuk menarik
perhatian, atau aktif berselidik jika mendengar ada laki-laki shaleh
yang siap menikah. Seperti halnya wanita dimata laki-laki, kajian dengan
tema “lelaki” pun menjadi satu wacana favorit yang tak kunjung usai
dibicarakan dalam komunitas muslimah.
Haruskah terus menerus bersikap membohongi diri seperti contoh
pertama diatas. Betapa lelahnya kita ketika harus berbuat seperti itu
sementara seolah tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu dan
berharap semoga Allah segera mendatangkan pilihan-Nya. Atau masihkah
tidak merasa malu untuk menghinakan diri dengan aksi over acting dan
‘caper’.
Menurut Fauzil Adhim, banyaknya muslimah yang belum menikah di
usianya yang sudah cukup rawan bukannya tidak siap, tetapi karena mereka
tidak pernah mempersiapkan diri. Kesiapan disini, termasuk di dalamnya
adalah kesiapan untuk menerima calon yang tidak sesuai dengan kriteria
yang diinginkan sebenarnya, meski jika ditilik kembali sesungguhnya
lelaki tersebut sudah memiliki persyaratan yang ’sedikit’ lebih
dibanding lelaki biasa. Misalnya, setidaknya sholatnya benar, akhlaqnya
baik, tidak berbuat syirik dan pergaulannya tidak jauh dari orang-orang
shaleh. Artinya, lanjut Fauzil, tidak usah mematok kriteria terlalu
tinggi. Walaupun sebenarnya, sah-sah saja untuk melakukannya.
Pada keadaan tertentu, seringkali para muslimah seperti tidak berdaya
mengatasi kelelahannya mencari -menunggu- jodoh. Padahal, ada satu hal
yang boleh dan sah saja untuk dilakukan oleh seorang muslimah, yakni
menawarkan diri untuk dipinang. Hanya saja, selain masih banyak yang
malu-malu membicarakannya, banyak pula yang menganggap hal ini sebagai
sesuatu yang tabu, karena tidak pernah dicontohkan oleh para orang tua
kita. Asalkan pada lelaki yang baik-baik, dalam pandangan Islam sah-sah
saja wanita menawarkan diri untuk dipinang.
Senada dengan Fauzil Adhim, Ustadz Ihsan Tanjung dalam salah satu
rubrik konsultasi keluarga pernah mengatakan, seorang muslimah sebaiknya
mengungkapkan perasaannya -keinginannya untuk dilamar- kepada seorang
lelaki shaleh yang menjadi pilihannya, ketimbang dia lebih mungkin
terkena dosa zina hati karena terus menerus mengharapkan si lelaki tanpa
kejelasan atau kepastian.
Hanya saja, yang mungkin perlu diperhatikan adalah seberapa tinggi
daya tawar yang dimiliki oleh para muslimah itu ketika dia harus
mengungkapkan perasaannya. Pertanyaan yang sering muncul adalah
“seberapa pantas dirinya” saat meminta si lelaki untuk melamar dan
menikahinya. Untuk hal ini, sepantasnya bukan kata-kata terlontar dari
mulut untuk mengkhabarkan kepantasan diri. Namun, dengan mempertinggi
kualitas keshalehahan tanpa mengagungkan kecantikan wajah,
mengkedepankan akhlaq yang baik sebagai pakaian sehari-harinya disamping
juga ia perlu membenahi penampilannya untuk sekedar meningkatkan
kepercayaan diri, dan menjaga mata pandangannya untuk selalu bercermin
kepada hati, karena disanalah cinta dapat berkembang.
Bagi mereka, Kepentingan menghaluskan wajah tidak mengalahkan
kepentingannya untuk menghaluskan jiwanya, karena kecantikan yang murni
justru terpancar dari jiwa yang cantik (inner beauty). Kecantikan
seperti inilah yang senantiasa tumbuh sepanjang waktu. Jika hal-hal itu
sudah dipersiapkan sebaik mungkin dan terpatri menjadi hiasan diri, maka
melangkahlah untuk menjemput impian. Namun demikian, perlu juga rasanya
untuk melatih menata hati dan berjiwa besar jika terpaksa harus
bertepuk sebelah tangan atau menerima kenyataan diluar harapan. Wallahu
a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)
0 komentar:
Posting Komentar