Banyak muda-mudi jaman sekarang yang asyik masyuk terseret dalam
pergaulan bebas. Pacaran seolah menjadi budaya. Pacaran menjadi nuansa
bagi mereka untuk menuangkan rasa cinta pada sang kekasih. Rasa rindu
ingin bertemu selalu menghantui mereka, para remaja yang sedang dimabuk
cinta. Malangnya, ajang bercengkerama dua anak manusia berlainan jenis
(bukan muhrim) ini lebih digemari dari pada membaca buku-buku motivasi
atau kegiatan positif lainnya. Lebih malang lagi, tontonan
sinetron-sinetron di televisi lebih memperparah lagi keadaan ini.
Tak dapat dipungkiri lagi, di masa sekarang, ada keprihatinan
mendalam di balik fenomena itu. Dengan “mengatasnamakan cinta”,
muda-mudi itu banyak yang lupa akan batasan-batasan yang digariskan
agama. Melalui ajang yang disebut pacaran itu, terjadilah sebuah
interaksi intensif dari perasaan saling suka, sering bertemu, dan
seterusnya yang berujung pada terjadinya berbagai kontak fisik dalam
kesempatan yang sepi berdua. Tak jarang mereka sampai terjerumus ke
jurang perzinaan, karena tak bisa mengendalikan diri. Akhirnya,
hubungan yang awalnya istimewa bagi mereka, menjadi penyebab terjadinya
dosa besar dan hancurnya masa depan bagi pelakunya. Sekali lagi,
sebelumnya mereka melakukannya dengan “mengatas namakan cinta”.
Ada kisah nyata seorang wanita yang dulu jadi teman sekelas semasa
SD. Dia adalah gadis yang manis menurut penilaian umum. Walau sedikit
centil, ia banyak disukai teman-temannya. Sejak SD ia sudah telibat
hubungan asmara dengan kakak kelas yang juga masih tetangga saya. Walau
itu mungkin cinta monyet, namun kisah itu terus berlanjut hingga SMA.
Malangnya, ketika masih kelas 1 SMA, si gadis ternyata telah berbadan
dua sehingga mau tidak mau harus kawin sangat muda. Tak berapa lama,
keluarlah anaknya dari rahimnya sehingga dapat dikata ABG (Anak Baru
Gede) tiba-tiba mengeluarkan anak yang bisa “gede”. Setelah semua itu
terjadi, hilanglah masa-masa indah si gadis dalam berproses menjadi
manusia dewasa. Dia harus menjadi sosok ibu di saat jiwanya masih
pancaroba, sementara gadis-gadis lain sedang menikmati kebebasan mencari
jati diri. Dia kini kelihatan sudah tua dengan badan gemuknya layaknya
ibu-ibu kelahiran era 70an. Kecantikannya hanya terlihat sekejap mata
setelah bencana itu tak dapat dihindarinya. Ia telah kehilangan masa
mudanya… Lalu, siapa yang salah?
Begitu naifkah, kata cinta yang harusnya dijaga kesuciannya, menjadi
ternoda. Lalu, benarkah itu cinta? Ataukah hanya nafsu yang
terkamuflase? Jadi, ketika sepasang muda-mudi sedang asyik berduaan,
sebenarnya cinta ataukah nafsu mereka yang “berbicara”? Apakah emosi
ataukah akal sehat mereka yang lebih dominan?
Jika ada seorang gadis yang berkata pada kekasihnya, “Kuserahkan
segala milikku untukmu sebagi bukti cintaku padamu…” Dia menganggap itu
sebagai sebuah pengorbanan karena cinta. Tapi begitukah pengorbanan
untuk cinta? Ataukah itu untuk nafsu?
Ada seorang pemuda menanyakan pada pacarnya, “Bila kau benar cinta
padaku, apa buktinya?” Atau dalam kesempatan lain, “Sebagai bukti cinta,
maukah kau kucium, kupeluk… (dan seterusnya).” Atau dalam kasus lain,
jika yang minta ini itu adalah sang gadis, dan ketika si pemuda
menolaknya lantas dibilang pengecut. Apakah harus begitu membuktikan
cinta?
Begitu mudahkah mengatas namakan “cinta” untuk suatu perbuatan dosa.
Apakah itu benar cinta, atau itukah yang dinamakan nafsu? Yah, sebagai
makhluk jenius yang dikaruniai akal budi yang sempurna, kita sebagai
manusia pasti tahu perbedan keduanya, antara nafsu dan cinta. Dan
sebagai generasi muda yang terpelajar, sudah sepantasnyalah kita tidak
mencampuradukkan kedua hal itu untuk melegalkan hasrat (baca: hawa
nafsu) kita.
Sekarang adalah era informasi yang serba canggih, bukan era manusia
gua ratusan abad yang lalu. Manusia semakin cerdas dan punya peradaban
tinggi. Jadi, harus tahu apa itu arti cinta yang sesungguhnya, dan
jangan menodai makna cinta dengan pelampiasan hasrat nafsu birahi dengan
mengatasnamakan cinta.
Begitu memprihatinkan pergaulan bebas muda-mudi di jaman ini, yang
melegalkan perbuatan maksiat sebagai sebuah kebiasaan yang wajar. Hal
itu bukan tanpa bukti. Ada wanita yang berkisah langsung dan katanya
ingin bertaubat. Ada juga laki-laki yang berkisah dengan perasaan bangga
tanpa ada niat memperbaiki diri sedikitpun. Ada juga cerita dari teman
yang sering dijadikan curhat teman-temannya. Pendek kata, kita harus
mengurut dada mengetahui realitas kelabu ini. Mereka ada di
tengah-tengah kita. Itu terjadi di tengah-tengah kita.
Belum lagi banyaknya kasus-kasus pergaulan intim muda-mudi di luar
nikah yang menghebohkan, direkam layaknya film dokumenter, namun
akhirnya aib itu tersebar. Dan bagi si pelaku, pasti malu yang tak
terkira harus mereka tanggung. Juga bagi keluarganya, itu semua menjadi
aib yang memalukan, menghancurkan martabat keluarga, dan
meluluhlantakkan segala kebanggaan. Ironisnya, pelakunya kebanyakan
adalah sepasang kekasih yang masih pelajar atau mahasiswa. Lebih ironis
lagi, mereka melakukannya atas nama cinta.
Pertanyaannya: apakah semua itu akan dibiarkan saja? Atau biarlah jadi bahan pemberitaan belaka?
Nama cinta bukanlah untuk sesuatu yang nista. Cinta adalah anugerah
Yang Kuasa yang harus kita jaga kesuciannya. Jika kita mencintai
kekasih kita, maka dengan cinta itulah kita menjaganya, bukan
menodainya. Cinta selalunya suci dan mulia bila ia dimiliki oleh
seorang “pecinta sejati”. Banyak kisah cinta yang menjadi legenda.
Tajmahal yang indah di negeri India tercipta karena cinta. Rabiah Al
Adawiyah menjadi legenda sufi wanita karena cintanya pada Sang
Pencipta.
Pasangan legenda Rama–Shinta, Romeo–Juliet, Kais–Laila, menjadi kisah
sepanjang masa karena cinta mereka. Tidak ada kisah melegenda tentang
nafsu yang tak terkendali dalam hubungan dua insan lain jenis tanpa
ikatan pernikahan. Adanya hanyalah skandal, perselingkuhan, perzinaan,
dan nama lain sejenis yang amoral.
Jadi, jangan katakan ‘cinta’ jika kita tidak bisa memaknainya dengan
makna yang sebenarnya. Jangan samakan cinta dengan nafsu hanya karena
kita kurang kendali diri. Jangan mengkambinghitamkan cinta sebagai
sarana pelampiasan nafsu. Dan yang lebih penting lagi, pergaulan bebas
tak akan terjadi bila muda-mudi kita bisa memaknai cinta dengan
sebenarnya dan memegang teguh ajaran agama dengan istiqomah (konsisten)
sampai tiba masanya gerbang pernikahan terbuka.
Bagaimana menurut pendapat Anda?
0 komentar:
Posting Komentar